Kelompok LGBTI sudah lama ada di kebudayaan dan masyarakat Indonesia, jauh sebelum terbentuknya negara tersebut. Suku Bugis di Sulawesi mengenal lima gender yang bertujuan menjaga keseimbangan Ibu Pertiwi sesuai dengan kitab mereka, Sureq Galigo. Di Jawa Tengah, tradisi tari lintas gender Lengger Lanang masih terus berkembang hingga hari ini. Di Papua, beberapa suku asli telah memberlakukan inisiasi seksual antar laki-laki sebagai tradisi mencapai pubertas selama ribuan tahun lamanya.
Meskipun begitu, beberapa tahun belakangan ini, kelompok agamis semakin memperkuat taring mereka di kancah politik, hak kelompok LGBTI pun terus menerus dilanggar oleh pemerintah Indonesia, yang menegakkan norma-norma gender dan orientasi seksual terhadap individu melalui adat istiadat, undang-undang dan kekerasan. Kasus-kasus penangkapan pun muncul sejak tahun 2016, saat beberapa politisi konservatif mulai melayangkan berbagai pernyataan homofobik yang bersifat menghasut. Ini adalah gelombang intoleransi yang baru dan mengerikan terhadap kelompok LGBTI, terlebih di sebuah negara yang pernah dianggap memiliki toleransi yang cukup baik di tengah ekstrimisme Islam yang terus meningkat.
Ini adalah gelombang intoleransi yang baru dan mengerikan terhadap kelompok LGBTI, terlebih di sebuah negara yang pernah dianggap memiliki toleransi yang cukup baik di tengah ekstrimisme Islam yang terus meningkat.
Dalam konteks Indonesia, konsep hak asasi manusia (HAM), termasuk menjamin hak-hak LGBTI, lahir dari Pancasila, filosofi kenegaraan yang dicanangkan pada tahun 1945 oleh Sukarno, Presiden Indonesia kala itu. Bahkan, moto nasional Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”, menyatakan persatuan yang bersifat mendasar untuk semua warga negara, terlepas dari perbedaan etnis, wilayah, sosial dan agama. Di samping itu, Prinsip-Prinsip Yogyakarta, yang disahkan pada tahun 2007 oleh 29 ahli HAM demi adanya penerapan HAM dalam tingkat internasional seputar kesetaraan orientasi seksual dan identitas gender (SOGIE), menyatakan bahwa semua manusia dari segala macam orientasi seksual dan identitas gender sepenuhnya berhak akan HAM.
Dalam pidatonya, Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo, kerap menyebutkan Pancasila dan HAM, bahkan di saat yang bersamaan. Jokowi menyatakan bahwa pemerintah menjamin hak semua orang untuk mengungkapkan opini atau ekspresi diri serta berkumpul atau berserikat, selama masih sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Maka dari itu, karena menjadi homoseksual tidak ilegal di Indonesia, pengawasan seksualitas yang semakin meningkat serta kurangnya undang-undang yang melindungi adalah dua faktor utama di balik kekerasan serta ketimpangan berbasis gender di Indonesia.
Di tahun 2017, misalnya, dua laki-laki di Provinsi Aceh dicambuk di depan publik hingga 83 kali karena melakukan hubungan seks di ruang privat mereka. Beberapa hari kemudian, kepolisian Indonesia menggerebek dua sauna gay di Jakarta dan menangkap masing-masing 141 dan 58 orang karena berpartisipasi dalam apa yang disebut sebagai “pesta seks gay”. Mereka yang ditangkap dijerat pelanggaran pornografi; walaupun relasi seksual sesama jenis sebenarnya legal di luar Aceh dan Sumatra Selatan, pemerintah acapkali memelintir undang-undang anti pornografi yang sangat ketat untuk mempersekusi kelompok LGBTI. Di bulan Oktober, rancangan undang-undang penyiaran yang memiliki kemungkinan besar melarang karakter-karakter LGBTI di televisi nasional disahkan ke tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun begitu, pada bulan Desember tahun lalu, Mahkamah Konstitusi Indonesia menolak percobaan peninjauan kembali yang bertujuan untuk mengkriminalisasi hubungan di luar nikah yang konsensual serta hubungan homoseksual di Indonesia. Dengan demikian, kelompok LGBTI di Indonesia secara teknis dilindungi oleh hukum. Namun, kenyataan yang ada jauh berbeda.
Berbagai bentuk diskriminasi terus muncul, termasuk pelecehan oleh penyedia layanan kesehatan, kesulitan memperoleh KTP, dan bahkan penolakan dalam sistem pendidikan. Diskriminasi yang sistematis seperti ini membuat para individu LGBTI rentan terhadap infeksi HIV dan trauma mental, yang dapat berujung kepada angka bunuh diri yang tinggi.
Menurut survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation di pertengahan tahun 2016, kelompok LGBTI di Indonesia adalah grup minoritas yang berhak akan perlindungan, karena mereka adalah grup minoritas yang paling tidak disukai di negara tersebut (survei ini melaporkan bahwa 26,1% responden tidak menyukai orang LGBTI). Selain itu, menurut Williams Institute of the UCLA School of Law, tindakan-tindakan diskriminatif yang membatasi kelompok LGBTI untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi mereka yang sebenarnya disinyalir merugikan perekonomian Indonesia hingga 12 miliar dollar AS di tahun 2016 saja.
Demi menyintas serangan diskriminasi tersebut, pergerakan LGBTI di Indonesia harus mampu membantu dirinya sendiri. Di saat yang sama, perjuangan menuju kesetaraan bukan hanya tanggung jawab kelompok LGBTI saja, namun juga kelompok-kelompok minoritas lainnya, para feminis dan terutama, para sekutu di kalangan heteroseksual. Interseksionalitas adalah kunci kemajuan pergerakan hak LGBTI dan HAM secara umum, dan semua komunitas ini harus memulai sebuah dialog. Kuncinya adalah mengedukasi publik bahwa konsep LGBTI bukanlah produk atau konstruksi Barat, namun sudah lama menjadi bagian yang integral dalam budaya dan masyarakat Indonesia.
Dengan membuka ruang dialog, kelompok LGBTI dapat menggunakan hak dasar mereka untuk mengekspresikan diri secara bebas sekaligus mengedukasi orang lain bahwa pada prinsipnya kelompok LGBTI bukan mencari hak istimewa, namun hanyalah kesetaraan di mata hukum dan dipandang sebagai manusia yang utuh. Melalui dialog, kita juga dapat membangun pengertian bahwa orientasi seksual serta identitas dan ekspresi gender bukanlah penyakit yang harus disembuhkan.
Flickr/swedennewyork (CC BY-NC 2.0-Some Rights Reserved)
Beberapa tahun belakangan ini, berbagai komunitas, artis dan musisi, pusat kebudayaan, institusi agama dan bahkan Komnas Perempuan di Indonesia telah bekerja sama untuk mempromosikan kesetaraan, melalui serangkaian diskusi buku, kuliah umum dan festival film sebagai bentuk ketahanan dan penjangkauan terhadap publik agar mereka mendapatkan edukasi seputar isu-isu LGBTI.
Meskipun terus ada berbagai tantangan yang memperkeruh pergerakan, kelompok LGBTI harus siap sedia dengan tindakan-tindakan perlindungan dan keamanan yang memadai. Sebagai kelompok masyarakat yang rentan terhadap persekusi dari pihak penegak hukum serta organisasi-organisasi sayap kanan yang ekstrem, penting bagi kelompok LGBTI untuk mengetahui sarana-sarana hukum yang ada untuk membela diri dan mendapatkan pelatihan keamanan, baik untuk di lapangan atau di internet. Pengusiran pasangan lesbian di Bogor oleh pihak polisi dan massa umum menunjukkan pentingnya menyimpan nomor kontak penting dari organisasi-organisasi pendukung seperti YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan Arus Pelangi (yang memiliki federasi yang membawahi berbagai komunitas LGBTI di seluruh Indonesia).
72 tahun lepas kemerdekaannya, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membebaskan kelompok LGBTI dari diskriminasi dan prasangka terstruktur serta mencapai impian akan bangsa yang ideal. Sekarang, para LGBTI Indonesia muda dan sekutunya yang memiliki kekuatan untuk menghapus homofobia, bifobia dan transfobia serta menciptakan masa depan yang lebih baik, agar generasi selanjutnya tidak perlu melalui perjuangan yang sedemikian beratnya demi mencapai kesetaraan seperti halnya yang dilalui oleh generasi masa kini.